SCTV FTV Paijah Pacar Terakhirku *Casts: Rizky Alatas and Anisa Rahma Adi - bumper photo |
Turun dari taksi di depan rumah
Mas Handro
“Ummm ... ini rumah aku ya. Di sini tempat
aku dilahirin. Pokoknya kamu harus jaga
sikap dan kamu nggak boleh macem-macem di depan mama aku. Ngerti?!”, kata Mas Handro.
Paijah yang masih di dalam
taksi, tidak mengerti cara membuka pintu taksi.
“Mas, Mas Handro. Gimana ini cara ngebukanya, Mas?”, tanya Paijah.
Mas Handro langsung menoleh ke belakang,
“Waduh!”
“Oh”, kata Paijah mengangguk mulai mengerti cara
membuka pintu taksi.
Paijah keluar dari taksi.
“Makasih ya, Pak.” kata Mas Handro pada supir
taksi.
“Makasih ya, Pak.” Paijah menirukan.
Taksi berlalu ...
Sebelum masuk rumah, Mas Handro
memperingatkan Paijah, “Inget ya!
Jaga sikap di depan mama. Oke!”
“Siap.” sahut Paijah.
Di dalam rumah Mas Handro ...
“Ini rumahnya gedhe banget ya?” kata Paijah takjub.
Paijah melihat hidangan di
meja.
“Eh, ini roti beneran?” tanya Paijah dengan
lugunya.
“Ya beneran laah, masa’ mainan?” jawab Mas Handro.
“Beneran?”
“Bener.”
“Lha ini? Ini? Ini plastik?” tanya Paijah.
“Nampan.” jawab Mas Handro.
Ibunya Mas Handro keluar dari bilik ke ruang tamu menemui Mas Handro dan Paijah.
“Hm ... Hm ... Sopo, Ndro?” tanya ibunya Mas Handro.
“Anu, Bu. Saya ...” kata Paijah
memperkenalkan diri.
Tapi Mas Handro tiba-tiba memotong perkataan
Paijah, “E ... , Shinta, Ma. Dan dia calon istri saya.”
“Shinta?” kata Paijah kaget.
“Istri?” sahut ibunya Mas Handro kaget.
Ibunya Mas Handro menarik tangan Mas Handro,
“Sebentar ya. Saya mau bicara dulu sama Handro.”
“Oh iya, saya juga mau ngomong sama Mas Handro. Bentar ya Bu, ya.” kata Paijah.
“Eh ... eh ... eh.”
“Ma ... Ma ... Ma.”
“Mama mau ngomong
sama kamu,” kata ibunya Mas Handro.
Tangan Mas Handro ditarik ke kiri dan ke
kanan oleh ibunya dan Paijah.
“Ma ... Ma ... Ma.”
“Ini saya mau ngobrol bentar aja ama Mas Handro,” kata Paijah sambil menarik
tangan Mas Handro.
“Maaf ya,” kata ibunya Mas Handro pelan.
“Tapi saya mau ngomong, Bu.” kata Paijah.
“Ini anak saya. Saya ibunya. Jadi, saya dulu
yang bicara.”
“Iya, iya, iya Ibu, ya, iya, iya. Ya udah, tapi bentar aja ya, Bu,
ya. Saya tunggu di sini.”
Ibunya Mas Handro menarik Mas Handro menjauh
dari ruang tamu.
“Sini! Adoh,
kamu ini gimana toh? Sini. Mama mau bicara
sama kamu,” kata ibunya Mas Handro.
“Lha wong
kamu itu kuliah aja belum selesai, sudah minta nikah?” lanjut ibunya Mas
Handro.
“Ya Mama bakal nekenin aku juga, ‘kan?”
“Lha yo
jelas tho. Lha ‘kan Ratna bisa ngurus hidup kamu. Daripada ... sopo kuwi? Siapa namanya?” tanya ibunya
Mas Handro dengan nada menyepelekan Paijah.
“Pokoknya, aku cinta mati sama Shinta.” kata
Mas Handro meyakinkan ibunya.
“Lha kok gitu tho?” tanya ibunya Mas Handro keheranan. “Ya udah. Ndak pa pa. Kalo kamu ndak mau nikah ama Ratna
tapi kamu harus kerja di galerinya Ratna. Dalam waktu satu bulan, kamu sudah
harus jadi manajer. Tapi ya ... kalo kamu ndak
bisa jadi manajer dalam waktu sebulan, yo
... kamu tetep kawin sama Ratna yo, Nak.”
“Emmm”
“Lha yo
memang gitu pilihannya” kata ibunya
Mas Handro.
“Tapi saya nggak mau sama Ratna, Ma.” keluh Mas Handro.
Sedang di ruang tamu, Paijah
melihat jam tangannya dan segera menghampiri Mas Handro dan ibunya Mas Handro.
“Waktunya udah
lima menit. Waktunya saya ngomong
sama Mas Handro.”
“Lho ... piye
tho?” kata ibunya Mas Handro.
Paijah menarik tangan Mas Handro dan mengajak
keluar. Ibunya Mas Handro berusaha mencegah, “Eh ... iki belum selesai.”
“Eh ... eh ... sakit, Ma.” kata Mas Handro
berusaha melepaskan tangannya dari ibunya.
“Iki
piye tho?” ucap ibunya Mas Handro dengan ekspresi sedikit bingung.
Paijah menarik tangan Mas Handro keluar dari
rumah.
“Eh ... ini apa-apaan sih? Kok kamu narik-narik aku? Eh, tunggu.” Kata Mas
Handro.
Paijah melepaskan tangan Mas Handro dan mulai
menagih, “Eh, mana uang 10 jutanya? E ... kenapa tadi aku juga dipanggil
Shinta? Trus kenapa juga tadi Mas ngaku-ngaku kalo aku ini jadi calon istri kamu? Heh ...”
“Gini ya. Uang 10 juta nggak bakal keluar kalo
aku nggak bawa calon istri ke mama aku. Kedua, aku manggil kamu Shinta karena
aku nggak tau nama kamu.”
“Oh ... mbok
ya kamu tuh nanya! Nama aku tuh Paijah, bukan Shinta.”
“Hek, ... ha ... ha ... Sorry sorry sorry sorry sorry. Kamu tadi bilang apa? Nama kamu
Paijah? Em, itu nama asli apa bohongan apa samaran?”
“Ya iya, beneran. Nama asli.”
“O ... Oke, Paijah.”
“Ya udah mana uang 10 jutanya?”
“Ya nggak
ada laah. Tapi aku janji, aku bakal
tanggung jawab dan aku bakal bayar dan kamu bisa temuin aku tiga kali dalam sehari. Dan aku bakal bayar. Gimana?
Setuju?”
“Setuju! Awas jangan bohong ya tapi
ya, Mas.”
“Ndak
akan bohong.”
“Oke. Ya udah
aku pulang”
Baru satu langkah, Paijah bilang, “Eh, ntar dulu. So, aku pulangnya gimana? Wong
aku nggak bawa ongkos.”
Mas Handro merogoh sakunya dan mengambil uang.
“Uangku tinggal segini lagi. Kamu naik becak aja ya. Aku nggak bisa anter kamu soalnya.”
“Em, ya udah
deh.”
Paijah terima uang dari Mas Handro dan segera
berlalu sedang Mas Handro pun masuk ke rumahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar